29 Oktober 2010

The Serumpun Institute (TSI) Bangka Belitung

The Serumpun Institute Adalah Lembaga Kajian dan Penelitian Kebijakan-Kebijakan Publik, Provinsi Bangka Belitung
Prolog

The Serumpun Institute (TSI) Bangka Belitungadalah lembaga kajian dan penelitian kebijakan publik (Center for Public Policy Research) yang resmi didirikan sejak 18 September 2008 oleh sekelompok aktivis dan intelektual muda Bangka Belitung. TSI merupakan lembaga yang independen, nonpartisan, dan nirlaba yang sumber dana utamanya berasal dari hibah dan sumbangan dari yayasan, perusahaan, dan perorangan.

Tujuan

TSI bertujuan untuk menjadi pusat kajian dan penelitian utama di Provinsi Serumpun sebalai (Ba-Bel) untuk masalah-masalah kebijakan publik dan berkomitmen untuk memberikan sumbangan kepada debat-debat kebijakan publik dan memperbaiki kualitas pembuatan dan hasil-hasil kebijakan publik dalam situasi demokrasi serta provinsi baru di Indonesia.

Misi

Pengurus

Direktur

Muhamad Azhari A.F adalah putra daerah Bangka Belitung, kelahiran Tanah Bawah, Bangka, pada tanggal 18 September 1985. Pendidikan Sekolah Dasar ditempuhnya di Bangka (1999). Kemudian ia meneruskan pendidikan di Ponpes Al-Islam Kemuja Bangka, dan menamatkan MTS (2002), serta MA (2005) disekolah yang sama. Selanjutnya ia meneruskan studi pada bidang filsafat di UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta.

Sejak merantau di kota pendidikan Yogyakarta, ia banyak menulis di berbagai media; koran (baik lokal maupun nasional), majalah dan di berbagai media kecil-kecilan seperti buletin-buletin di kampus hingga selebaran-selebaran aksi.

Aan, demikan panggilan akrabnya, banyak terlibat di berbagai organisasi independent maupun dependent kampus. Ia pernah dipercaya sebagai Ketua bidang pendidikan dan pengembangan pemikiran pada Ikatan Keluarga Mahasiswa Alumni Pon-Pes Al-Islam Kemuja Bangka Jogjakarta (2006-2007). Selain itu ia pernah pula terlibat dalam Himpunan Mahasiswa Islam, dan Ketua Lingkaran Study Filsafat Untuk Demokrasi dan lain-lain.



Saat ini penulis bergelut pada Vindicate Of Indonesia dan dipercaya sebagai Direktur The Serumpun Institute Babel. Beliau bisa di hubungi melalui e-mail: kedaifilsafat@gmail.com atau website: www.bangngangan.com

Direktur Bidang Kajian Ekonomi
Devisa Saputra S.E adalah pria kelahiran Bedengung, 01 Mei 1987. Gelar Sarjana Ekonomi diraihnya pada tahun 2009 lalu. Meski demikian pria yang satu ini merupakan peneiliti sekaligus sastrawan yang sangat kaya pengalaman. Ia telah malang melintang diberbagai organisasi baik ditingkat daerah maupun nasional, serta dikenal pula sebagai pengasuh komunitas sastra “Kopi Pahit”.

26 Oktober 2010

Menghindari Petaka Konflik Pemilukada


Meski tahapan Pemilukada tahun ini masih terbilang kondusif, diperlukan antisipasi dini dari semua elemen agar pesta demokrasi ini berjalan aman dan sesuai harapan.

Gemerlap politik menjelang berlangsungnya Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) di beberapa daerah semakin terasa menghentak. Meski kompetisi antar pasangan calon mulai berlangsung dalam ritme yang semakin dinamis. Namun jika bercermin dari Pemilukada sepanjang 2005-2008 silam, potensi konflik tetap tidak bisa diremehkan. Depdagri misalnya, menyebutkan bahwa dari 486 Pemilukada yang digelar pada 2005-2008, hampir separuhnya bermasalah. Bahkan Pemilukada di Maluku Utara konfliknya baru selesai setelah 1,5 tahun.
Pemicu Konflik
Umumnya konflik yang terjadi  dipicu persoalan penghitungan suara dan masalah daftar pemilih tetap (DPT). Sebagian yang lain lantaran ada dugaan ketidaknetralan KPUD. Malangnya, rata-rata Pemilukada yang bersengketa kerap diwarnai dengan keributan antar pendukung. Meskipun selalu meriah, tetapi alih-alih mendatangkan kebaikan, yang tersaji malah konflik berkepanjangan. Fenomena tersebut menggelitik kita untuk bertanya, kenapa hal ini bisa terjadi?. Lalu, langkah apa yang harus diusahakan agar potensi konflik pesta demokrasi ini bisa dihindari atau setidaknya diminimalisir?.
Pertama, secara substansial jejak petaka konflik Pemilukada setidaknya bercokol pada proses seleksi kandidat yang nampak masih diiringi oleh pragmatisme politik dan oligarki. Dalam banyak kasus pertimbangan pragmatis nampak jelas dalam melakukan seleksi kandidat terutama oleh partai yang tidak memiliki kader-kader handal. Posisi seperti ini membuat seleksi tidak lagi didasarkan pada kompetensi namun lebih ditentukan oleh seberapa tebal kocek sang kandidat.
Sialnya, banyak parpol yang memposisikan dirinya sebagai kendaraan sewaan. Fenomena ini kian membuka ruang transaksi antara parpol dengan para kandidat.  Akhirnya, parpol tanpa malu  memasang harga setinggi mungkin bagi siapa saja yang berminat menggunakan jasanya.
Pragmatisme semacam inilah yang banyak menimbulkan ketidakpuasan di ranah akar rumput. Sebab keputusan hanya diambil secara oligarkis sentralistik oleh segelintir elit partai di tingkat pusat.  Akibatnya Pemilukada menjadi elitis, hanya menjadi wilayah para elit. Hanya orang-orang kuat dan berkantong tebal saja yang mampu mencalonkan diri. Sementara mereka yang berkualitas namun tidak punya amunisi ekonomi yang besar akan terpental sebelum sampai ke panggung pertunjukan.